Kurikulum disebut-sebut sebagai inti pendidikan dan menjadi
ciri utama sekolah sebagai institusi yang bergerak pelayanan pendidikan.
Kurikulum di dalamnya terdiri dari lima komponen: (1) Tujuan
Pendidikan; (2) Isi (3) Strategi; (4) Pengelolaan
Kurikulum, dan (5) Evaluasi.
Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, guru
mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengajaran atau sekarang
lebih dikenal dengan istilah pembelajaran dan guru menjadi
eksekutif utama kurikulum.
Kegiatan pembelajaran diwujudkan dalam
bentuk interaksi antara guru dengan siswa. Siswa memiliki tugas
pokok belajar yakni berusaha memperoleh perubahan perilaku atau pencapaian
kemampuan tertentu berdasarkan pengalaman belajarnya yang diperoleh dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, guru berupaya
“menyampaikan” sejumlah isi pembelajaran kepada siswa melalui proses atau
strategi tertentu, serta melaksanakan evaluasi untuk mengetahui proses dan hasil
pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, tentang kedudukan kurikulum
dalam pendidikan dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Perlu dicatat, meski memiliki kedudukan
sentral dalam pendidikan, keberadaan kurikulum tetap saja hanya
sebagai alat (instrumental) yang bersifat statis. Kurikulum akan
bermakna ketika benar-benar dapat terimplementasikan dengan baik dan tepat
dalam setiap praktik pembelajaran (Kurikulum sebagai kegiatan) serta
dapat berjalan efektif dan efisien (Kurikulum sebagai hasil).
=========
Jika diibaratkan membuat suatu makanan, guru
adalah Koki, -sang pembuat makanan-, dan kurikulum adalah kumpulan resep
makanan yang dijadikan pegangan bagi sang Koki untuk membuat suatu makanan, di
dalamnya memuat bahan dan cara untuk membuat makanan.
Untuk menghasilkan makanan yang baik tentu tidak
cukup mengandalkan pada resep yang ada, tetapi justru yang paling penting
adalah bagaimana memproses bahan-bahan yang ada, dengan alat yang ada agar
menjadi suatu makanan yang lezat dan menarik. Semua ini akan sangat ditentukan
oleh pengetahuan dan keterampilan sang Koki dalam mengolah makanan sedemikian rupa.
Sehebat apapun resep makanan yang dibuat, tidak akan banyak berarti manakala
sang Koki tidak memiliki kemampuan untuk menterjemahkan resep secara tepat ke
dalam praktik nyata proses pengolahan makanan.
Saya lebih meyakini bahwa seorang Koki yang hebat
dan profesional (tersertifikasi) akan lebih mampu menghasilkan
makanan-makanan yang bernilai dan bercita rasa tinggi, sekalipun makanan itu
terbuat dari bahan yang seadanya dan dengan menggunakan alat yang seadanya
pula. Sebaliknya, di tangan Koki yang amatiran, walau disediakan bahan
dan alat yang mewah tampaknya hanya akan menghasilkan kemubaziran,
misalnya: tampilan makanan yang kurang mengundang selera, masih mentah, gosong
atau tidak jelas rasanya.
Meski tidak sepenuhnya persis dan identik, analogi
ini barangkali bisa menggambarkan tentang sebuah proses pendidikan. Berkaitan
dengan perubahan Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013, apakah karena kita sedang
berhadapan dengan buku resepnya yang keliru sehingga sulit dipahami dan
dijadikan pedoman bagi sang Koki ataukah justru kita sedang menghadapi
persoalan dengan kemampuan sang Koki dalam mengolah makanan?
Sejauh ini saya lebih melihatnya pada pilihan
kedua dan inilah persoalan yang kerap terjadi dalam setiap pergantian
kurikulum. Hingga di akhir ujung hayatnya Kurikulum 2006, saya melihat masih
ada sebagian teman-teman di pelosok negeri ini yang sama sekali belum
tersentuh dengan makhluk yang bernama Kurikulum 2006. Bagi mereka Kurikulum
2006 tak ubahnya seperti makhluk gaib. Kenapa bisa demikian? Salah
satunya adalah kurangnya mendapatkan akses untuk meng-upgrade
pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2006.
Oleh karena itu, memasuki era Kurikulum
2013, harus bisa memastikan bahwa setiap guru dapat termotivasi dan
terlatih untuk mampu menjalankan Kurikulum 2013 ini. Jika tidak dilakukan
pembenahan dari sisi ini, maka ide-ide yang tertuang dalam kurikulum 2013 tetap
saja hanya akan menjadi sekumpulan ide atau dokumen yang sama sekali tak
berguna.
Mendidik tentu sangat berbeda dengan mengolah
makanan. Mendidik memang jauh lebih rumit karena melibatkan faktor
manusia dengan segala keunikan dan karakteristiknya yang sangat kompleks. Meski
sulit, pendidikan harus tetap dilakukan dan kita semua tidak menginginkan
makanan yang gosong atau tidak matang sehingga harus berujung di tong
sampah. Oleh karena itu, untuk menghindari kemubaziran, bagi guru
tampaknya hanya tersedia dua pilihan: Jadilah guru profesional atau tidak sama sekali!
Apapun wujud kurikulumnya, tetaplah berdedikasi pada profesi dengan
mencurahkan segenap potensi terbaik yang dimiliki, demi pendidikan yang
lebih baik, demi putera-puteri didik kita, agar kelak mereka dapat memiliki
kehidupan yang lebih baik.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: “Siapa
yang paling bertanggung jawab untuk mewujudkan guru profesional itu?” Jawabannya
saya serahkan kepada Anda untuk mengelaborasinya lebih lanjut.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus